sepertinya sudah agak lama gak nulis di blog sendiri, ,
maklumlah lagi sibuk skrpisi. . . hehe
namun, biar bagaimanapun ilmu harus tetap digali, informasi harus tetap dibagi.
pada tulisan kali ini saya akan sedikit mengulas tentang salah satu topik dalam bidang Human Resource, yakni tentang komitmen. Seringkali orang-orang bicara tentang komitmen, kadang seorang muda-mudi yang dirundung asmara, kadang para pebisnis, dan tak jarang para organisatoris. Kali ini saya akan melihat komitmen dalam tinjauan akademis, dan ini mungkin bisa menjadi acuan pembaca yang sedang ada tugas kuliah, ataupun para praktisi bisnis yang ingin mngoptimalkan fungsi SDM nya.
Komitmen yang didasarkan pada sikap yang positif terhadap organisasi (komitmen organisasi) menjadi paradigma yang dominan dalam literatur sebagai hasil yang diinginkan dari praktek manajemen SDM dan paling banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif (Swailes, 2004).
Robbins (2005) memberikan pengertian komitmen pada organisasi sebagai suatu keadaan yang menggambarkan sampai tingkat mana seorang karyawan memihak pada organisasi tertentu, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi.
Komitmen organisasi merupakan pemikiran secara umum untuk membawa ke arah hasil yang positif dan merupakan faktor dalam manajemen perubahan (Coopey and Hartley; Guest; Iverson dalam Swailes, 2004). Sedangkan menurut Mowday et. al., (1979) komitmen organisasi merupakan identifikasi individual yang relatif kuat terhadap organisasi dan keterlibatan dengan organisasi tersebut. Hal itulah yang menyebabkan bahwa komitmen organisasi dipertimbangkan sebagai kekuatan identifikasi psikologi individu dan keterlibatannya dalam organisasi (Jaramilo et.al., 2008). Oleh sebab itu, konseptualisasi psikologi ini menunjukkan bahwa di dalam komitmen afektif terdapat tiga faktor yakni identification, involvement, dan loyalty (Banai et. al., 2004). Komitmen menurut Allen dan Meyer (1990) komponennya dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Komitmen afektif
Komitmen affective merupakan suatu proses sikap di mana orang berpikir mengenai hubungan mereka dengan organisasi dalam bentuk kesesuaian nilai dan tujuan. Tingkat di mana nilai dan tujuan individu sesuai dengan organisasi dihipotesiskan berpengaruh langsung terhadap keinginan individu untuk tinggal di organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki komitmen affective kuat akan tinggal di organisasi karena mereka ingin melakukannya
b. Komitmen berkelanjutan (continuance)
Merupakan kesadaran akan biaya yang ditanggung bila karyawan keluar dari perusahaan. Biaya-biaya ini mencakup : (1) Perolehan individu selama bergabung dalam organisasi, dalam bentuk rencana pensiun, senioritas, ketrampilan kerja, afiliasi lokal, hubungan kekeluargaan dan sebagainya, yang dapat hilang karena berpindah pekerjaan; (2) Individu mungkin merasa mereka harus tetap dengan pekerjaan saat ini karena mereka tidak memiliki alternatif pekerjaan lain. Dengan demikian karyawan yang memiliki komitmen continuance yang kuat akan tinggal di organisasi karena mereka merasa harus melakukannya.
c. Komitmen Normatif
Merefleksikan nilai kesetiaan individu secara umum pada organisasi dimana pada komitmen ini karyawan merasa berkewajiban untuk tetap tinggal dalam organisasi meskipun kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik tersedia dimana-mana. Komitmen normative merujuk pada keinginan untuk tinggal di organisasi yang didasarkan pada rasa tugas, kesetiaan, dan kewajiban moral. Komitmen ini dapat berasal dari budaya individu atau etika kerja, yang menyebabkan mereka merasa memiliki kewajiban untuk tinggal dalam organisasi. Dengan demikian, rasa kesetiaan dan tugas yang melandasi komitmen ini menyebabkan individu akan tinggal di organisasi karena mereka merasa sebaiknya melakukan hal tersebut.
Menurut Allen dan Meyer (1990), komponen affective, continuance, dan normative dipandang sebagai komponen yang dapat dibedakan. Hal ini berarti karyawan dapat mengalami tahapan psikologis dalam berbagai tingkatan pada setiap komponen tersebut. Beberapa karyawan dapat merasakan kebutuhan dan keharusan yang kuat untuk tetap tinggal di organisasi, meskipun sebenarnya tidak ada keinginan. Karyawan yang lain mungkin tidak merasa butuh dan harus, tetapi memiliki keinginan kuat untuk tinggal di organisasi.
Menurut Mowday (dalam Allen dan Meyer, 1990) anteseden pada komponen affective dapat digolongkan menjadi 4 faktor, yaitu karakteristik personal, karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural. Menurut Allen dan Meyer (1990), anteseden pengalaman kerja terbukti yang paling kuat memenuhi kebutuhan psikologis karyawan untuk merasa nyaman dengan organisasi dan merasa kompeten dalam peran kerja.
Allen dan Meyer (1990) mengemukakan bahwa komponen continuance berkembang atas dasar 2 faktor, yaitu : besar atau jumlah investasi yang dibuat individu serta kesenjangan alternatif yang dirasakan. Prediksi kedua faktor tersebut diturunkan dari teori yang dikemukakan Becker dan Farrell & Rusbult. Menurut Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990), individu membuat taruhan sampingan (side bets) ketika mereka mengambil tindakan yang meningkatkan biaya karena ketidakberlanjutan dengan tindakan terkait lainnya. Misalnya karyawan yang meng ‘investasikan’ waktu dan energi untuk menguasai suatu ketrampilan kerja yang tidak dapat diterapkan dengan mudah pada organisasi lain. Mereka ‘bertaruh’ bahwa waktu dan energi yang di ‘investasikan’ akan mendapat imbalan. Apabila ‘pertaruhan’ tersebut benar, bagaimanapun juga membutuhkan keberlanjutan kerja pada organisasi. Menurut Becker(dalam Allen dan Meyer, 1990) kemungkinan karyawan akan tinggal di organisasi berhubungan positif dengan besar dan jumlah side bets yang dibuat karyawan.
Seperti investasi, kesenjangan alternatif pekerjaan juga meningkatkan biaya yang dihubungkan dengan keputusan meninggalkan organisasi (Farrell dan Rusbult, dalam Allen dan Meyer, 1990). Oleh karena itu semakin sedikit altenatif yang lebih baik, semakin kuat komitmen continuance karyawan kepada organisasi.
Adapun menurut Wiener (dalam Allen dan Meyer, 1990) komponen normative dapat dipengaruhi oleh pengalaman individu baik yang berhubungan dengan sosialisasi budaya / kekeluargaan maupun cara masuk ke dalam organisasi (sosialisasi organisasional). Dalam hubungannya dengan masa lalu, Allen dan Meyer (1990) berpendapat bahwa seorang karyawan akan memiliki komitmen normatif yang kuat apabila pihak lain yang signifikan (seperti orang tua) adalah karyawan yang menghabiskan masa kerjanya pada suatu organisasi dan atau menekankan pada pentingnya loyalitas organisasional. Dalam hubungannya dengan sosialisasi organisasional, Allen dan Meyer mengemukakan bahwa karyawan yang diarahkan untuk percaya – melalui berbagai praktik organisasi – bahwa organisasi mengharapkan loyalitas mereka akan cenderung memiliki komitmen normative yang kuat.
Sekian ulasan dari penulis, semoga bermanfaat. . .
No comments:
Post a Comment
add your comment