Monday, August 1, 2011

Solo : ikon Budaya ditengah kapitalisasi


1 Agustus 2011

Solo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah mempunyai dinamika perubahan baik sosial budaya maupun ekonomi yang unik. Sebagai kota yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Jawa Tengah, telah mengarungi perjalanan 265 tahun. Pada dasarnya pertumbuhan pemukiman di Solo mengikuti 2 pola baku yang sebelumnya dipengaruhi oleh Pura Kadipaten Mangkunegara. Pertama, dipengaruhi oleh domisili elite bangsawan sebagai inti, dan kedua berdasarkan pembagian kerja atau profesi. Itu antara lain terlihat pada banyak kampung yang diambilkan dari nama pangeran, pejabat tinggi istana, serta beberapa kampung yang juga diambilkan dari mata pencaharian masyarakat lokal.
Konsep pemukiman homogen telah disusun sejak dulu oleh keraton, fungsinya untuk mengontrol penduduk nonpribumi. Golongan Cina diberi tempat di Pasar Gede yang kemudian disebut Pacinan. Golongan bangsa Arab diberi tempat di sebelah timur keratin yang kemudian disebut Pasar Kliwon. Sedangkan untuk golongan bangsa Belanda diberi tempat di sebelah timur Beteng Vastenburg yang kemudian oleh masyarakat sekitar disebut Loji Wetan, karena loji merupakan sebutan masyarakat lokal untuk menamai rumah bangsa Belanda.
Ragam etnis dan budaya di Solo telah lama ikut mewarnai dinamika ekonomi yang berkembang. Sholahuddin MZ dalam blognya menyatakan bahwa kota Solo yang masyarakatnya lembut, berbudi adiluhung, penuh sopan santun, jika disulut oleh sensitifitas  terhadap pluralisme etnis dan agama bisa berubah menjadi “makhluk liar” yang tega menghancurkan kotanya sendiri. Menurut sejarawan Soedarmono, paling tidak Solo telah dilanda konflik 13 kali kerusahan massa sejak geger pecinan tahun 1743, dan terakhir Mei kelabu 1998 itu belum termasuk konflik-konflik kecil yang tidak sampai berlanjut ke kerusuham massa.
Sejak kerusuhan reformasi, Solo mulai menggeliat menunjukkan performa ekonominya. Pengelolaan asset daerah dan manajemen terhadap investasi bisnis perdagangan mulai membaik. Menurut data Bank Indonesia PDRB kota Solo tahun 2000-2005 meningkat positif. Empat tahun pertama sebesar 6,46 %, tahun berikutnya naik sekitar 4,3 %. Tumbuhnya ekonomi Solo tak lepas dari peranan investor yang melihat posisi strategis kota ini yang terletak diantara Jogja dan Semarang. Kawasan sekitar jalan Slamet Riyadi sebagai jantung kota Solo kini telah dihiasi dengan bangunan-bangunan megah berupa hotel dan pusat perbelanjaan. Pada tanggal 3 Oktober 2007 lalu diadakan sebuah pre launching pembangunan calon Tower tertinggi di Solo dengan konsep apartemen dan shopping mall di bagian podium store’nya. Dihadiri oleh walikota Solo Bapak Jokowi, diresmikanlah Kusuma Mulia Tower, rancangan bangunan senilai 300 M yang akan menjadi gedung tertinggi di Solo, selain itu ada juga Solo Center Point (SCP), bangunan yang dianggarkan 200 M menambah deretan gedung pencakar langit di Solo. Sebuah konsep bangunan yang mengusung tema apartemen dan shopping mall secara terpisah, juga akan dibuat di sebelah timur lapangan Kota Barat yakni Solo Paragon.
Pertumbuhan ekonomi Solo yang secara drastis seolah menjadi dilema bagi perkembangan sosial budaya Solo sendiri. Jika dilihat perkembangannya Solo dari waktu ke waktu, apakah Solo cocok mendapat predikat World Heritage Cities (WHC) atau malah lebih dominan bergeser kearah World Trade Cities (WTC). Pembangunan di sisi kanan kiri Jl. Slamet Riyadi telah memupus harapan pecinta budaya akan orisinalitas dan eksistensi budaya Solo itu sendiri. Jajaran reklame dan berbagai identitas ekonomi lebih banyak menghiasi jalan protokol kota Solo. Anjuran Pemkot untuk menulis huruf Jawa dalam identitas sosial juga tidak sepenuhnya dilaksanakan masyarakat. Berdirinya monumen (patung) tidak menambah kemurnian kota Solo. Taman Budaya Jawa Tengah yang sarat akan petunjukan Budaya kalah diminati dibanding bioskop 21. Bumbu perdagangan (pasar malam) terasa lebih dominan dibanding esensi Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, Festival Bengawan Solo, dll.
Tahun 2007 tampaknya menjadi momentum kota Solo untuk membuktikan komitmennya terhadap perkembangan budaya. Ditandai dengan diadakannya SIEM (Solo International Ethnic Music) yakni sebuah even yang mengusung pertunjukan music tradisional dari berbagai Negara.  Di Beteng Vastenburg, musisi dari berbagai negara unjuk gigi menampilkan kreasi dari music tradisional masing-masing. Pada tahun 2008 di Pura Mangkunegaran Solo, SIEM mengulang sukses tahun pertamanya. Sebanyak 50 grup musisi baik nasional maupun internasional turut memeriahkan perhelatan akbar budaya tersebut. Tidak hanya masyarakat, media massa baik local maupun luar negeri memberikan apresiasi. Kepuasan tampak pula terlihat dari wajah musisi, pada umumnya tidak menduga SIEM mampu menyeddot ribuan penonton.
Pada tahun 2009 diadakanlah SIPA (Solo Internasional Performing Arts) sebagai selingan dari SIEM. Even budaya tersebut juga tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apresiasi yang tinggi turut diberikan masayarakat nasional maupun internasional. Selain even musik, di Solo juga diselenggarakan SBC (Solo Batik Carnival) sebagai wujud peresmian dan perayaan atas diakuinya batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Atas keberhasilan SBC yang ada di Indonesia, maka Solo mendapat undangan juga untuk memeriahkan perayaan serupa di luar negeri.
Semangat untuk membuktikan diri sebagai kota budaya telah ditunjukkan Solo dengan menggelar SICEM (Solo International Contemporary Ethnic Music) 2010. Penambahan contemporary menurut Supanggah (curator SICEM 2010) memiliki makna bahwa SIEM menyuguhkan music Ethnic yang terus berkembang dan bersifat kekinian. Selain SICEM 2010 pada tahun 2010 ini kota Solo telah menyusun deretan perhelatan budaya baik nasional maupun internasional. Diantaranya yaitu Wilujengan Boyong Kedhaton, Grebeg Sudiro, Solo Karnaval, Sekaten, Grebeg Mulud, Tatacara Adang Tahun Dal 1943 SISKS PB XIII, Mahesa Lawung, Bengawan Travel Mart, Solo Menari, Festival Kuliner, Seni Kampung Solo, Kreatif Anak Sekolah Solo (KREASSO), Solo Batik Fashion, The Asia Pasific Ministrial Conference on Housing and Urban Development, Solo Batik Carnival, dan lain-lain.
Deretan acara budaya di Solo, tentunya juga berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima pemerintah serta pemasukan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Denga adanya tamu yang hadir dari kota lain dan luar negeri, pasar-pasar, pertokoan dan hotel pasti ramai dikunjungi. Tidak hanya pertokoan besar, pasar tradisional pun pasti ikut ramai dikunjungi wisatawan yang datang untuk berbelanja.
Meski solo terus digempur oleh pembangunan di bidang ekonomi, tidak selayaknya identitas Solo sebagai World Heritage Cities (WHC) berubah menjadi World Trade Cities (WTC). Peran serta masyarakat sekitar pasti sangat berpengaruh dalam pembangunan sosial budaya yang ada di Solo. Oleh karena itu, mari jaga Solo agar tetap menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.

Ichsan widyantoro
Versi online dari majalah PROFIT terbitan HMJM FE UNS 2010