Monday, May 30, 2011

kebijakan dalam bersikap (discretionary service behavior)


Halo pembaca. . .
Salam HR. . .

Pada kali ini saya akan mengulas tentang perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan ketika berinteraksi dengan sesama karyawan ataupun pada customernya. Seringkali kita tidak memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh karyawan kita, bahwa sesungguhnya ketika mereka melakukan pekerjaan ada proses tertentu yang terjadi pada pikiran mereka. Tentang bagaimana menentukan sikap dalam menjalankan tugas ataupun melayani customer, perilaku yang dimaksud adalah Discretionary Service Behavior.

Discretionary Service Behavior
Pengertian
Blancero dan Johnson (2001) mendefinisikan DSB sebagai kebijaksanaan karyawan selama berinteraksi dengan konsumen. DSB bukanlah perilaku karyawan yang sudah ditentukan atau secara penuh dikontrol oleh organisasi, serta tidak dilakukan menurut aturan tertulis. Perilaku DSB didasarkan pada pilihan individu mengenai keputusan, kebebasan, atau kemampuan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab (Hartline dan Ferrell, 1996). Karyawan seringkali mempunyai keleluasaan informal dalam memberikan pelayanan dikarenakan kedekatan terhadap konsumen.
Bowen dan Lawler (1992) menjelaskan pemberdayaan sebagai arahan untuk perilaku discretionary behavior, termasuk kebebasan dalam memilih cara yang berbeda ketika melakukan pekerjaan, kebebasan untuk bertindak tanpa perencanaan dalam pertemuan dengan konsumen, masukan pada desain pekerjaan, dan kemampuan untuk merespon sesuatu yang salah. Kelly (dalam Simons dan Roberson, 2003) menggunakan istilah “discretion” untuk menjelaskan perilaku karyawan yang melibatkan dalam pemilihan atau pengembangan alat untuk memenuhi tugas. Hartline & Ferrel (1996) menjelaskan bahwa perilaku DSB juga mencakup adaptasi situasi dan umpan balik konsumen selama karyawan berinteraksi dengan konsumen. Bitner et. al., (dalam Blancero dan Johnson, 2001) telah menjelaskan bahwa perilaku DSB oleh karyawan mempunyai pengaruh yang penting pada kepuasan konsumen.
Organisasi sering merasa perlu untuk mendukung perasaan karyawan mereka tentang kebijaksanaan untuk memungkinkan mereka berinteraksi efektif dengan konsumen, dalam keadaan yang tidak diperkirakan yang mungkin timbul di lingkungan kerja. (Bowen & Schneider dalam Blancero & Johnson, 2001). Ketika organisasi berkeinginan untuk mendorong (dan memonitor) hasil perilaku discretionary yang menguntungkan, perilaku tersebut mungkin sulit bagi organisasi untuk dikelola (atau bahkan harus benar-benar disadari), dan dapat memiliki dampak besar pada efektivitas organisasi jika mempengaruhi kepuasan konsumen.
Ketika organisasi berfokus pada hasil perilaku positif, organisasi juga harus menyadari perilaku negatif yang mungkin berasal dari niat negatif. Perilaku karyawan yang negatif mengarah pada perilaku DSB dengan cara yang tidak bisa diterima organisasi (Kelley dalam Simons dan Roberson, 2003). Ashforth and Lee (dalam Blancero dan Johnson, 2001) mendeskripsikan perilaku defensive discretionary yang mungkin diarahkan langsung ke konsumen yakni terlalu memilih dalam melayani, menghindar dari tanggung jawab, bertindak ceroboh, tidak sesuai aturan, dan mengulur waktu dalam bekerja. Bitner et. al. (dalam Simons & Roberson, 2003) menyebutkan perilaku pelayanan negatif seperti kata tidak senonoh, berteriak, sentuhan yang tidak pantas, dan kasar. Keinginan berperilaku negatif tersebut mengurangi hasil pekerjaan dari karyawan tersebut. Hal tersebut menggangu organisasi dan mengarah pada ketidakpuasan konsumen.

Perbedaan antara DSB dan OCB
DSB tidak bisa disamakan dengan OCB, secara parsial batas antara in-role dan extrarole perilaku kerja adalah tidak jelas dan persoalannya menjadi multi interpretasi (Morrison dalam Blancero dan Johnson, 2001). Perbedaan lain adalah OCB dan Extra-role Behavior (ERB) pada umumnya didefinisikan oleh hasil dari perilaku (perilaku yang menghasilkan target yang positif dipertimbangkan sebagai dampak dari OCB dan ERB yang positif juga), sedangkan DSB lebih akurat didefinisikan sebagai maksud dari karyawan ketika berinteraksi. Perbedaan konsepsi ini mengarahkan pada dua penambahan yang jelas dan perbedaan dasar antara DSB dengan OCB/ERB :
1.    Ketika karyawan berperilaku DSB, mereka bisa bertujuan positif atau negatif. Sedangkan konsepsi OCB dan kebanyakan dari ERB diperlakukan sebagai tujuan yang positif (bermanfaat pada organisasi atau pada reken sekerja).
2.   DSB diarahkan ke eksternal kepada konsumen diluar organisasi, sedangkan OCB/ERB diarahkan ke internal organisasi kepada anggota organisasi (atasan, rekan sekerja) dan organisasi.

Tujuan Positif dan Negatif dalam DSB
Karyawan bisa melakukan DSB, baik berupa DSB yang positif ataupun negatif. Dalam pengertian, tujuan DSB bisa diperlihatkan sebagai keluaran dari ekspresi apresiasi dari karyawan tentang kerjasama (positif) ataupun pembalasan dendam (negatif), tergantung dari kondisi anteseden. Blancero dan Johnson (2001) berpendapat bahwa karyawan mengekspresikan keinginan untuk melakukan DSB positif atau negatif dalam interaksi dengan konsumen, tergantung dari kondisi anteseden. Tujuan dari DSB positif melibatkan karyawan melakukan hal yang melebihi tuntutan yang disyaratkan dengan usaha untuk memberi manfaat pada organisasi. Tujuan DSB yang negatif adalah melakukan perilaku discretionary yang tidak bisa diterima oleh organisasi (Kelley dalam Blancero & Johnson, 2001).  Kondisi negatif yang tidak bisa dipisahkan dari DSB juga dilihat sebagai ketidaksopanan (Andersson & Pearson dalam Blancero & Johnson, 2001). Bentuk negatif dari perilaku orientasi kognitif (discretionary) tidak sama dengan tujuan DSB. Banyak peneliti berpendapat bahwa bentuk positif dan negatif dari discretionary adalah konsepsi yang terpisah, sedangkan Blancero & Johnson (2001) menjelaskan bahwa DSB adalah konsepsi yang tunggal dan saling melengkapi. Baik tujuan positif dan hasil yang positif ataupun tujuan positif dan hasil yang negatif (bergantung pada anteseden dan situasi yang mempengaruhi).
Perbedaan yang penting adalah jika organisasi hanya berfokus pada mengontrol perilaku discretionary positif seperti OCB/ERB yang menguntungkan organisasi, maka kemungkinan terburuk adalah lack (kekurangan) OCB/ERB. Jika organisasi hanya berfokus pada perilaku discretionary negatif seperti anti-citizenship behavior, hasil terbaik yang bisa didapat adalah lack (kekurangan) pada perilaku tersebut. Jika organisasi sadar mengenai DSB, mereka bisa mengontrol anteseden yang mengarahkan pada hasil yang positif atau negatif. Meskipun ada kemungkinan lack (kekurangan) dari DSB, yang ada hanya tingkatan terbesar atau terendah dari hasil positif atau negatif. Dengan kata lain, tidak ada “neutral zone” dari perilaku.
               
External Direction dalam DSB
Karyawan pada umumnya yang merasa diperlakukan tidak adil di dalam organisasi bisa membuat mereka berperilaku negatif diluar organisasi di berbagai situasi (Blancero, et. al., dalam Blancero & Johnson, 2001). Hal ini bisa terjadi pada lingkungan pelayanan konsumen. Karyawan bisa menjadi bertindak lebih discretionary dan mengontrol fokus atas karakteristik kerja dan hubungan interpersonal (seperti membuat perjanjian dengan konsumen eksternal) dibanding mereka melakukan fokus ke karakteristik pekerjaan dan hubungan internal (seperti membuat perjanjian dengan atasan dan organisasi). Mereka memiliki kebebasan untuk bertindak melakukan perilaku fungsional dan disfungsional pada eksternal (diarahkan ke konsumen) daripada keinginan untuk bertindak ke dalam organisasi (kearah atasan, budaya organisasi, norma kelompok kerja, regulasi tertulis/aturan, dan sebagainya).
Karyawan sering memiliki kesempatan yang lebih kecil tentang “tertangkap” oleh organisasi mengenai perilaku yang mereka lakukan kepada konsumen. Dalam konteks mencegah organisasi mengetahui perilaku DSB negatif, karyawan bisa menyembunyikan maksud negatifnya, sehingga konsumen merasa hasil yang berbeda dari yang dimaksudkan oleh karyawan (Ashforth & Lee dalam Blancero & Johnson, 2001). Perbedaan ini penting karena organisasi secara khas melihat dampak langsung internal OCB/ERB melalui sepengetahuan manajer dan rekan sekerja. Dampak dari pengaruh eksternal langsung DSB bisa terakumulasi tanpa bisa dikendalikan organisasi setiap waktu. Hal ini juga bisa mengarahkan konskuensi terburuk jangka panjang yang tidak bisa diperbaiki (Blancero dan Johnson, 2001).
Blancero dan Johnson (2001) mengusulkan bahwa pengalaman karyawan yang telah lalu berada di rangkaian sebab akibat diantara anteseden (sebagai contoh kondisi tempat kerja) dan hasilnya (sebagai contoh DSB). Logika ini didukung oleh Fisher dan Locke (dalam Blancero & Johnson, 2001), yang menantang bahwa persepsi negatif bisa menggantikan karyawan, dan tidak dinyatakan dengan reaksi kapan dan dimana kejadian itu terjadi, tetapi dinyatakan pada waktu yang berbeda dan diarahkan kepada target yang tidak tahu menahu tentang penyebab reaksi afektif tersebut. Dalam model DSB, karyawan mengevaluasi kondisi tempat kerja dan memutuskan untuk merespon (entah itu positif atau negatif) dengan DSB kemudian diarahkan ke konsumen eksternal.

Ichsan Widyantoro, Mei 2011

pelayanan publik



Salam HR pembaca. . .

Pada kesempatan kali ini penulis akan mengulas tentang kondisi pelayanan publik di Indonesia, khususnya di tingkat daerah. Yah mungkin anda bertanya-tanya mengapa Kabupaten kecil layak untuk dibahas. Pada dasarnya semua pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia mengacu pada Undang-Undang yang telah disusun wakil rakyat kita di DPR. Baik-buruknya citra layanan publik suatu negara pasti bergantung pada pelaksanaan atau eksekusi di tingkat daerah. Sudah menjadi kodratnya, ketika kita membahas suatu ranah yang besar, kita menganalisisnya dari tingkat terendah dulu.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi yang luas terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaran pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kebijakan Otonomi Daerah ini, Pemerintah bersama masyarakat dapat lebih diberdayakan dan sekaligus diberi tanggungjawab untuk akselerasi pembangunan dan daya saing daerah. Pelayanan kepada masyarakat menjadi salah satu fokus perhatian utama dalam implimentasi kebijakan tersebut. Maksud diberikannya otonomi kepada daerah adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini tercermin dengan menempatkan aspek peningkatan mutu (kualitas) dan pemerataan pelayanan kepada masyarakat. Mengedepankan aspek pelayanan kepada masyarakat adalah tujuan yang utama dari pelayanan masyarakat, maka dari itu keberadaan instansi pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah mempunyai peran yang sangat vital. Hanya dengan pelayanan yang berkualitas akan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan berkembangnya harapan dan kesadaran tentang kualitas pelayanan. Kebutuhan, selera, dan tuntutan masyarakat dalam banyak hal sudah jauh meningkat, sehingga tuntutan kualitas pelayanan merupakan hal yang harus segera dipenuhi.
Peningkatan tuntutan kualitas pelayanan dari masyarakat harus diimbangi dengan upaya menemukan model atau sistem pelayanan yang berkualitas agar pelayanan yang dilakukan dapat menjadi pelayanan yang prima. Hal ini untuk menghindari kesenjangan antara tuntutan standar kualitas yang dibuat pemerintah dengan kualitas yang diberikan dalam pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat (Yosa, www.itjen-depdagri.go.id).
Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Hampir setiap hari ada keluhan dalam masyarakat terhadap berbagai pelayanan yang diberikan aparat penyelenggara/pelaksana pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa (Yosa, www.itjen-depdagri.go.id).
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan kecewa terhadap kinerja kepala daerah. Sebagian besar kepala daerah masih belum gesit dalam merespons keluhan masyarakat. Gamawan menyatakan, kelambanan pemda dalam merespons keluhan rakyat terlihat dari hasil survei tentang pelayanan publik dan iklim investasi yang dilakukan sebuah lembaga survei dari Hong Kong. Dari survei ini, Indonesia berada di urutan kesembilan dari 10 negara. Indonesia hanya lebih baik dibanding India yang menempati urutan ke 10 (www.seputar-indonesia.com).
Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia (Yosa, www.itjen-depdagri.go.id).
Keluhan-keluhan itu setidaknya dapat dilihat dari laporan masyarakat ke Ombudsman selaku lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Selama bulan Januari - Maret 2010, terdata ada sebanyak 50 laporan yang masuk ke lembaga negara tersebut. Dari jumlah itu, 21 laporan di antaranya mengeluhkan mengenai pelayanan di pemerintah daerah (www.ombudsman.go.id).
Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik (Yosa, www.itjen-depdagri.go.id).
Pelayanan yang berkualitas merupakan harapan yang didambakan masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa hal itu adalah merupakan hak yang harus diperolehnya. Khususnya di era reformasi sekarang ini pemerintah memberikan perhatian yang serius dalam upaya peningkatan dan perbaikan mutu pelayanan. Antisipasi terhadap tuntutan pelayanan yang baik membawa suatu konsekuensi logis bagi pemerintah untuk memberikan perubahan-perubahan terhadap pola budaya kerja aparatur pemerintah.
Oleh karena itulah, pemerintah daerah punya tanggung jawab yang besar untuk memakmurkan rakyatnya. Sudah menjadi hukum yang Fardhu klo slogan “kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat”, “kalau bisa dikerjakan besok, kenapa harus sekarang”, dan “departemen basah, departemen kering” harus hilang dari bumi nusantara.

Ichsan Widyantoro, Mei 2011

Wednesday, May 25, 2011

adil itu yang bagaimana ??

Salam HR. . .
kali ini saya akan mengulas tentang keadilan. Banyak orang mendeskripsikan keadilan menurut persepsi masing-masing, sehingga pengukurannya atau standardisasinya jadi multi interpretasi, belum tentu adil menurut kita bisa dianggap adil juga oleh orang lain. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini saya akan mengulas tentang keadilan yang ada dalam organisasi atau perusahaan. Seringkali manajer mengambil keputusan dan memperlakukan bawahannya dengan tidak tepat, sehingga mengakibatkan kepuasan kerja di tempat tersebut menjadi rendah. Tentu saja hal itu sedikit akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Penulis sebagai seorang akademisi, tentu melihat hal tersebut dari sisi akademis juga, referensi yang digunakan adalah hasil penelitian empiris penelitian terdahulu yang tentu saja sudah pakar dibidangnya masing-masing.

Keadilan organisasi melibatkan persepsi karyawan dari keadilan perlakuan yang dilakukan oleh atasan (Colquitt, 2001). Dessler (2005) mengemukakan bahwa suatu organisasi adalah adil, bila di antaranya, dapat disetarakan, imparsial dan tidak bias dalam berbagai cara mereka melakukan banyak hal. Menurut Niehoff & Moorman (1993), keadilan organisasi merujuk pada persepsi subordinat bahwa mereka dilayani secara seksama oleh majikan (pengurus) dan organisasi dalam kerjanya. Menurut Greenberg & Lind (2000), literatur keadilan organisasional dideskripsikan dan dijelaskan sebagai peran keadilan di tempat kerja.

Menurut Colquit et. al.,(2001) dalam meta analisisnya telah membagi jenis keadilan organisasional menjadi 3, yakni :
Keadilan Distributif
Kebanyakan teori dikembangkan dari teori keadilan yang dikemukakan oleh Stacy Adams pada tahun 1965 dan mengacu pada keadilan yang dirasakan individu sebagai hasil dari penerimaan atas suatu keputusan. Adam menggunakan kerangka teori social exchange untuk mengevaluasi keadilan. 

Keadilan Prosedural
Keadilan yang dirasakan atas prosedur yang diterapkan pada organisasi. Penelitian tentang perasaan keadilan tentang proses dan prosedur melalui keputusan yang diambil (keadilan prosedural) menemukan bahwa, meskipun individu menerima output yang tidak menyenangkan, jika prosedurnya adil mereka merasa puas (Thilbaut dan walker, dalam Allen dan Traavik, 2009). Keadilan prosedural termasuk aspek struktural dari prosedur, dalam hal ini suara, konsistensi, dan peluang untuk seruan serta interaksi interpersonal. (Blader dan Tyler, dalam Allen dan Traavik 2009).

Keadilan interaksional
Berkaitan dengan keadilan yang dirasakan atas komunikasi interpersonal antara atasan dan bawahan.
Dengan demikian terang sudah, apa itu adil dalam organisasi, para manajer atau atasan sebaiknya mendefinisikan terlebuh dahulu masalah yang dihadapi bawahannya agar bisa memberikan instruksi dan eksekusi yang tepat. Kalau diandaikan (bayangin gitu. .hehe) seharusnya manajer atau atasan itu seperti dukun yang ahli dalam meraba kondisi personal karyawan masing-masing, karena karakter dan kepribadian yang berbeda butuh penanganan yang berbeda pula. Meski hal ini mustahil untuk dilakukan tapi jika diusahakan pasti bisa, tergantung bagaimana cara mengaplikasikannya.
Selamat mencoba. . .

Ingat :
HR adalah sumberdaya kompetitif yang tidak bisa atau sangat sulit ditiru.
So, kalau anda ingin usaha anda sukses dan tidak mudah ditiru pesaing anda, kuatkan HR anda. . .
Maka sukses akan menyambut anda. . .

apa sih komitmen ??

sepertinya sudah agak lama gak nulis di blog sendiri, ,
maklumlah lagi sibuk skrpisi. . . hehe

namun, biar bagaimanapun ilmu harus tetap digali, informasi harus tetap dibagi.
pada tulisan kali ini saya akan sedikit mengulas tentang salah satu topik dalam bidang Human Resource, yakni tentang komitmen. Seringkali orang-orang bicara tentang komitmen, kadang seorang muda-mudi
yang dirundung asmara, kadang para pebisnis, dan tak jarang para organisatoris. Kali ini saya akan melihat komitmen dalam tinjauan akademis, dan ini mungkin bisa menjadi acuan pembaca yang sedang ada tugas kuliah, ataupun para praktisi bisnis yang ingin mngoptimalkan fungsi SDM nya.


Komitmen yang didasarkan pada sikap yang positif terhadap organisasi (komitmen organisasi) menjadi paradigma yang dominan dalam literatur sebagai hasil yang diinginkan dari praktek manajemen SDM dan paling banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif (Swailes, 2004).

Robbins (2005) memberikan pengertian komitmen pada organisasi sebagai suatu keadaan yang menggambarkan sampai tingkat mana seorang karyawan memihak pada organisasi tertentu, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi.

Komitmen organisasi merupakan pemikiran secara umum untuk membawa ke arah hasil yang positif dan merupakan faktor dalam manajemen perubahan (Coopey and Hartley; Guest; Iverson dalam Swailes, 2004). Sedangkan menurut Mowday et. al., (1979) komitmen organisasi merupakan identifikasi individual yang relatif kuat terhadap organisasi dan keterlibatan dengan organisasi tersebut. Hal itulah yang menyebabkan bahwa komitmen organisasi dipertimbangkan sebagai kekuatan identifikasi psikologi individu dan keterlibatannya dalam organisasi (Jaramilo et.al., 2008). Oleh sebab itu, konseptualisasi psikologi ini menunjukkan bahwa di dalam komitmen afektif terdapat tiga faktor yakni identification, involvement, dan loyalty (Banai et. al., 2004). Komitmen menurut Allen dan Meyer (1990) komponennya dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Komitmen afektif

Komitmen affective merupakan suatu proses sikap di mana orang berpikir mengenai hubungan mereka dengan organisasi dalam bentuk kesesuaian nilai dan tujuan. Tingkat di mana nilai dan tujuan individu sesuai dengan organisasi dihipotesiskan berpengaruh langsung terhadap keinginan individu untuk tinggal di organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki komitmen affective kuat akan tinggal di organisasi karena mereka ingin melakukannya

b. Komitmen berkelanjutan (continuance)

Merupakan kesadaran akan biaya yang ditanggung bila karyawan keluar dari perusahaan. Biaya-biaya ini mencakup : (1) Perolehan individu selama bergabung dalam organisasi, dalam bentuk rencana pensiun, senioritas, ketrampilan kerja, afiliasi lokal, hubungan kekeluargaan dan sebagainya, yang dapat hilang karena berpindah pekerjaan; (2) Individu mungkin merasa mereka harus tetap dengan pekerjaan saat ini karena mereka tidak memiliki alternatif pekerjaan lain. Dengan demikian karyawan yang memiliki komitmen continuance yang kuat akan tinggal di organisasi karena mereka merasa harus melakukannya.

c. Komitmen Normatif

Merefleksikan nilai kesetiaan individu secara umum pada organisasi dimana pada komitmen ini karyawan merasa berkewajiban untuk tetap tinggal dalam organisasi meskipun kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik tersedia dimana-mana. Komitmen normative merujuk pada keinginan untuk tinggal di organisasi yang didasarkan pada rasa tugas, kesetiaan, dan kewajiban moral. Komitmen ini dapat berasal dari budaya individu atau etika kerja, yang menyebabkan mereka merasa memiliki kewajiban untuk tinggal dalam organisasi. Dengan demikian, rasa kesetiaan dan tugas yang melandasi komitmen ini menyebabkan individu akan tinggal di organisasi karena mereka merasa sebaiknya melakukan hal tersebut.

Menurut Allen dan Meyer (1990), komponen affective, continuance, dan normative dipandang sebagai komponen yang dapat dibedakan. Hal ini berarti karyawan dapat mengalami tahapan psikologis dalam berbagai tingkatan pada setiap komponen tersebut. Beberapa karyawan dapat merasakan kebutuhan dan keharusan yang kuat untuk tetap tinggal di organisasi, meskipun sebenarnya tidak ada keinginan. Karyawan yang lain mungkin tidak merasa butuh dan harus, tetapi memiliki keinginan kuat untuk tinggal di organisasi.

Menurut Mowday (dalam Allen dan Meyer, 1990) anteseden pada komponen affective dapat digolongkan menjadi 4 faktor, yaitu karakteristik personal, karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural. Menurut Allen dan Meyer (1990), anteseden pengalaman kerja terbukti yang paling kuat memenuhi kebutuhan psikologis karyawan untuk merasa nyaman dengan organisasi dan merasa kompeten dalam peran kerja.

Allen dan Meyer (1990) mengemukakan bahwa komponen continuance berkembang atas dasar 2 faktor, yaitu : besar atau jumlah investasi yang dibuat individu serta kesenjangan alternatif yang dirasakan. Prediksi kedua faktor tersebut diturunkan dari teori yang dikemukakan Becker dan Farrell & Rusbult. Menurut Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990), individu membuat taruhan sampingan (side bets) ketika mereka mengambil tindakan yang meningkatkan biaya karena ketidakberlanjutan dengan tindakan terkait lainnya. Misalnya karyawan yang meng ‘investasikan’ waktu dan energi untuk menguasai suatu ketrampilan kerja yang tidak dapat diterapkan dengan mudah pada organisasi lain. Mereka ‘bertaruh’ bahwa waktu dan energi yang di ‘investasikan’ akan mendapat imbalan. Apabila ‘pertaruhan’ tersebut benar, bagaimanapun juga membutuhkan keberlanjutan kerja pada organisasi. Menurut Becker(dalam Allen dan Meyer, 1990) kemungkinan karyawan akan tinggal di organisasi berhubungan positif dengan besar dan jumlah side bets yang dibuat karyawan.

Seperti investasi, kesenjangan alternatif pekerjaan juga meningkatkan biaya yang dihubungkan dengan keputusan meninggalkan organisasi (Farrell dan Rusbult, dalam Allen dan Meyer, 1990). Oleh karena itu semakin sedikit altenatif yang lebih baik, semakin kuat komitmen continuance karyawan kepada organisasi.

Adapun menurut Wiener (dalam Allen dan Meyer, 1990) komponen normative dapat dipengaruhi oleh pengalaman individu baik yang berhubungan dengan sosialisasi budaya / kekeluargaan maupun cara masuk ke dalam organisasi (sosialisasi organisasional). Dalam hubungannya dengan masa lalu, Allen dan Meyer (1990) berpendapat bahwa seorang karyawan akan memiliki komitmen normatif yang kuat apabila pihak lain yang signifikan (seperti orang tua) adalah karyawan yang menghabiskan masa kerjanya pada suatu organisasi dan atau menekankan pada pentingnya loyalitas organisasional. Dalam hubungannya dengan sosialisasi organisasional, Allen dan Meyer mengemukakan bahwa karyawan yang diarahkan untuk percaya – melalui berbagai praktik organisasi – bahwa organisasi mengharapkan loyalitas mereka akan cenderung memiliki komitmen normative yang kuat.


Sekian ulasan dari penulis, semoga bermanfaat. . .