Tuesday, April 27, 2010

Judul Jurnal Referensi Outline Skripsi MK Seminar SDM

  1. ichsan : "The contributions of specific resources from the firm in its competitive performance: a Resource-Based View approach in the software sector"
  2. Deni 06 : " The Mediating Role of PSychological Contract Violatin (PCV) between Psychological Contract Breach (PCB) & work relatred attitudes and behaviors "
  3. Cita Ayu : " Partisipasi dalam pengambilan keputusan "
  4. Maya Irvanita ; "A Cross cultural comparison of ethical orientations & Willingness to sacrifice ethical standards: china vs peru"
  5. Arlina : "Relationship between Emotional Intelegence & transformational leadership of Supervisors"
  6. Fadian : " Human Resorces Practices and commitment to change : an employee-level analysis"
  7. Dian Tri : " Self-leadership and performance outcomes: The Mediating influence of self-efficacy"
  8. Retna : "Pengaruh Orientasi Layanan Organisasi terhadap OCB dan kepuasan kerja Customer contact sebagai variabel mediasi"
  9. Galih Saputra ; " The impact of the mother during family business succession"
  10. Ega Krisma : " Pengaruhb penilaian Kinerja Pada kepuasan kerja dan tingkat Turnover (Studi Kasus pada perusahaan X di Solo )"
  11. Farid Wajdi : " Self Leadership skills and innovative behavior at work"(studi pada karyawan Rumah Sakit X di Surakarta)
  12. Aditya Yoga : "Perceived Organizational Support and Organizational commitmen. The moderating effect of locus of controland Work autonomy"
  13. Ayom Wratsangka : " Effects of satisfaction with comunication on the relationship between individual Job congruence and job performance satisfaction"
  14. Haikal : "Effects of training framing, general self efficacy and training-the congruence between the importance of job satisfaction and the perceived level of achievement"
  15. Surya : "Employee commitment in changing organization : an exploration"
  16. Hanifa : "Self saccrifice and transformational leadership : Mediating Role of Altruism"

Saturday, April 24, 2010

Mengatasi "Burnout" di Tempat Kerja

Sabtu, 24 April 2010 - 15:11 WIB

"Burnout” adalah kondisi terperas habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik. Biasanya hal itu disebabkan oleh situasi kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan.

Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang intens. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif, maka kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan. Bahkan, seperti spiral, bisa makin melebar, mengganggu kinerja dan pada gilirannya dapat menyebabkan tambahan tekanan bagi pekerja yang lain.

Kekurangjelasan hak dan tanggung jawab kerja serta konflik peran (misalnya tuntutan kerja tidak konsisten dengan nilai-nilai yang diyakini) dapat berkontribusi. Terlebih bila ada beban berlebih, tuntutan kerja yang berat tanpa ada penghargaan atau capaian yang dirasa memadai. Sedikitnya dukungan sosial di dalam lembaga maupun dari luar lembaga serta kesulitan untuk mengambil keputusan mandiri juga dapat menjadi penyebab.

Menurut Psikolog Kristi Poerwandari dalam artikel "Mengatasi Burnout di Tempat Kerja" (Minggu, 10 Januari 2010), idealnya lembaga tempat kerja bisa mengembangkan mekanisme untuk mencegah atau meminimalkan burnout, dan pemimpin memahami peran yang secara ideal dijalankannya untuk membawa energi positif dan kesolidan kerja dalam timnya.

Namun, tidak jarang ada kasus, justru pemimpin menjadi pihak yang menyebabkan, atau memperparah situasi. Jika hal itu terjadi, Kristi menyarankan adanya komunikasi secara terbuka, jujur sekaligus tetap santun dengan sang pemimpin tersebut. Sekaligus, anak buah yang bersangkutan perlu mencoba memahami visi atasan, dan menjelaskan situasi nyata di lapangan agar terjadi kompromi.

Bila bawahan memang sulit mengupayakan komunikasi yang lebih baik dengan atasan, yang dapat dilakukan tampaknya hanyalah mengembangkan mekanisme pribadi dan lingkungan kerja terdekat untuk meminimalkan atau mengatasi masalah:

Berikut tips dari Kristi Poerwandari:

-Mengelola beban kerja secara realistis, menyadari bahwa tidak semua persoalan dapat segera dibereskan secara tuntas.

-Menyeimbangkan gaya hidup, seperti mengonsumsi makanan sehat, tidur dan istirahat cukup, berolahraga, dan mempertahankan koneksi dengan orang-orang dekat sebagai kelompok dukungan.

-Mengurangi ketegangan dengan berbagai cara fisik (olah napas, relaksasi, olah tubuh), menyelang-seling aktivitas stres tinggi (misalnya rapat penting, lobi) dengan aktivitas bertegangan rendah (bercakap dengan bawahan), menggunakan waktu jeda atau istirahat untuk recharge energi seperti ngobrol dengan teman dekat, nonton drama-komedi, duduk di depan kolam ikan, atau melakukan hobi.

-Menyadari atau mewaspadai tanda-tanda awal stres kerja (konflik dengan rekan dan atasan, beban berlebih) dan segera mengambil langkah mengelola atau mengatasinya.

Bila kita masih saja merasa sangat tidak nyaman dan tidak lagi terhubung dengan tempat kerja, bahkan terus berpikir ingin pergi, mungkin memang saatnya bagi kita untuk menemukan atau mengonstruksi yang baru.

portalhr.com

Wednesday, April 7, 2010

pelanggaran carefour

Kasus Makanan Kadaluwarsa Carrefour

Segera di Proses

A. Latar Belakang Masalah

Bisnis ritel memang sangat menjanjikan keuntungan yang tidak sedikit. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat mulai berfikir praktis, hal itu membuat masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakkat lebih senang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari di supermarket atau swalayan besar, dengan harapan kualitas produk yang dijual bisa terjamin. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk membeli di supermarket daripada di pasar tradisional ataupun di toko kelontong. Kurangwaspadanya konsumen sepertinya telah dimanfaatkan oleh pihak toko dengan menjual barang yang sudah kedaluarsa. Seperti yang dimuat dalam kilasberita.com dibawah ini.

Jakarta, Peritel raksasa asal Prancis Carrefour, segera menghadapi proses hukum. Hal ini menyusul temuan tim penyelidik Dinas Perdagangan DKI Jakarta atas makanan-minuman kadaluwarsa yang saat ini sudah masuk Kejati DKI dengan status P21 (selesai pemberkasan).

Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan DKI

Jakarta Ade Soeharsono saat dihubungi, Jumat (20/2/2009).

"Lagi sudah ditindak lanjuti, sudah P21," kata Ade.

Namun Ade tidak menjelaskan panjang lebar mengenai perkembangan kasus Carrefour tersebut, ia langsung menutup telepon genggamnya.

Sumber lainnya di tim penyelidikan perdagangan DKI Jakarta mengatakan kasus makanan kadaluarsa Carrefour ini merupakan yang pertama menimpa peritel asing.

Sehingga kata dia, jika Carrefour telah terbukti di pengadilan maka akan berdampak merusak imej Carrefour di mata para konsumen Carrefour di dalam negeri khususnya di DKI Jakarta. Carrefour pun dipastikan akan terjerat UU No 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen dengan ancaman 5 tahun penjara denda maksimal Rp 2 miliar.

"Dampaknya secara nama baik Carrefour, itu kan perusahaan asing," kata sumber tersebut.

Sumber tersebut juga mengatakan dengan lolosnya kasus Carrefour hingga ditingkat P21 artinya bukti-buktinya sangat kuat. Rencananya kasus ini akan segera disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Dalam keterangan sumber, bahwa dalam kasus kadaluwarsa, tim penyelidik Perdagangan DKI Jakarta telah menemukan daging, susu, minuman kotak kadaluwarsa.

"Ini hasil dari operasi gabungan pada bulan September 2008 lalu, dengan berkas P21 sudah selesai maka perkara ini termasuk cepat," jelas lagi sumber itu.

Sumber itu juga menambahkan bahwa hasil temuan ini merupakan hasil operasi yang dilakukan di beberapa lokasi gerai Carrefour di DKI termasuk di Carrefour Kelapa Gading Jakarta Utara. Ia menambahkan kasus temuan kadaluwarsa di Carrefour selama ini sudah terjadi di tempat lain termasuk di Bali. Namun sebelumnya hanya masih dalam tahap peringatan saja, sehingga kasus Jakarta hingga ke berkas P21 ini yang pertama bagi Carrefour.

Selain kasus Carrefour, dikatakan sumber itu masih ada kasus sejenis yang saat ini masih tahap P19 yaitu Rezeki Swalayan yang masih tahap pemanggilan dan 4 pemain lainnya yaitu Giant, Superindo, Diamond dan Hipermart, sehingga total kasus dugaan ritel menjual barang kadaluwarsa di DKI sebanyak 6 kasus.

Sementara itu Corporate Affairs Director Carrefour Irawan D. Kadarman saat dihubungi terpisah mengatakan bahwa pihaknya siap untuk mengikuti proses hukum selanjutnya.

"Kita akan ikuti proses selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Irawan. (kilasberita.com/amz/dtc)

B. Identifikasi Masalah

Dari info yang disajikan diatas, dapat diambil beberapa permasalahan yang terjadi :

a. Perilaku Carefour dilihat dari sudut pandang pokok dari bisnis

b. Keuntungan sebagai tujuan perusahaan

c. Pemenuhan hak konsumen

d. Pihak yang harus bertanggung jawab terhadap keamanan produk

C. Landasan Teori

Etika sebagai praktik berarti nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Etika sebagai praktik sama artinya dengan moral atau moralitas, apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan dan sebagainya.

Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi, kita berpikir tentang apa yang dilakukan, dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praktik atau mengambil praktik etis sebagai obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang.

Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis.

Tiga aspek pokok dari bisnis

Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada faktor organisatoris-manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosial-kultural. Kompleksitas bisnis itu berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan ini: sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika.

1. Sudut pandang ekonomis

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya, dengan maksud memperoleh untung. Mungkin bisnis dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan untung.

2. Sudut pandang moral

Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan. bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata "baik". Peri­laku yang baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau menyimpang dari norma-norma moral.

3. Sudut pandang hukum

Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, pada taraf nasional maupun internasional. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus di­lakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.

Hukum tidak perlu dan bahkan tidak bisa mengatur segala sesuatu demikian rupa sehingga tidak akan terjadi perilaku yang kurang etis. Dalam bidang bisnis pula, hukum tidak akan berusaha mengatur segala hal sampai detail-detail terkecil. Berbohong waktu melamar kerja atau pencurian kecil-kecilan di tempat kerja adalah perbuatan yang tidak etis, tetapi. tidak ditangani oleh hukum. Biasanya hukum dan instansi kehakiman barn campur tangan, bila kepentingan atau hak orang serta instansi harus dilindungi.

Kepatuhan pada hukum merupakan suatu minimum, tetapi minimum itu belum cukup. Sikap bisnis belum terjamin bersifat etis, bila orang membatasi diri pada hukum saja. Sebagaimana ditandaskan Boatright, daripada menggunakan motto "If it's legal, it's morally okay", lebih baik kita berpegang pada prinsip "If it's morally wrong, it's probably also illegal". Jika secara moral suatu perilaku ternyata salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti) perilaku itu melanggar hukum juga.

4. Tolok ukur untuk tiga sudut pandang ini

Bagaimana kita tahu bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi? Apa yang menjadi tolok ukurnya? Untuk sudut pandang ekonomis, bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba Untuk sudut pandang hukum pun, tolok ukurnya cukup jelas. Bisnis ada­lah baik, jika diperbolehkan oleh sistem hukum.. Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut pandang moral. Setidak-tidaknya dapat disebut tiga macam tolok ukurnya:

a. Hati nurani

Dalam bertindak bertentangan dengan hati nurani, kita menghancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus melakukan yang diperintahkan hati nurani dan tidak boleh melakukan apa yang berlawanan dengan suara hati nurani. Hati nurani memang merupakan norma moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang lain. Karena alasan-alasan ini hati nurani sebagai norma moral sering kali sulit dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma-norma lain.

b. Kaidah emas

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas yang berbunyi: "Hendaklah memper­lakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan". Kaidah Emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan secara negatil, Kaidah Emas berbunyi: "Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda".

c. Penilaian Umum

Cara paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Kualitas etis dari suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum. Akan tetapi, bila masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil penilaiannya akan bersifat subyektif. Untuk mencapai suatu tahap obyektif, penilaian moral perlu dijalankan dalam suatu forum yang seluas mungkin.

Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good bisiness, tingkah laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang di atas. Bisnis tidak pantas disebut good business bila tidak baik dalam sudut pandang etika dan hukum.

Perhatian untuk Konsumen

1. Hak atas Keamanan

Konsumen berhhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bias merugikan kesehatannya atau bahkan membahayyakan hidupnya.

2. Hak atas Informasi

Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu, maupun bagaimana cara mamakainya, maupun juga resiko yang menyertai pamakainya.

3. Hak untuk Memilih

Dalam system ekonomi pasar bebas, dimana kompetisi merupakan unsure hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan. Konsumen berhak untuk membandingkannya, sebelum mengambil keputusan untuk mmembeli.

4. Hak untuk Didengarkan

Konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa, untuk itu ia berhak bahwa keinginannya tentang produk itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya.

5. Hak Lingkungan Hidup

Konsumen boleh menuntut bahwa dengan memenfaatkan produk ia tiddak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini. Dengan kata lain konsumen berhak bahwa produkitu ramah lingkungan.

6. Hak konsumen atas Pendidikan

Tidak cukup bila konsumen mempunyai hak, ia juga harus menyadari haknya, dan harus mengemukakan kritik atau keluhannya, bila haknya dilanggar.

Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman

1. Teori Kontrak

Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Jika konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengah perusahaan yang menjualnya. Karena merupakan kontrak, transaksi jual-beli mengandung hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, baik produsen maupun konsumen. Adapun beberapa keberatan terhadap pandangan ini :

a. Teori kontrak mengandaikan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama. Pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara produsen dan konsumen, khususnya dalam konteks bisnis modern.

b. Teori kontrak mengandaikan hubungan langsung antara produsen dan konsumen, padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen. Ditekankan pula bahwa hubungan produsen dan konsumen bersifat tidak langsung melalui periklanan tentang produk.

c. Bila perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak, maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual-beli, padahal disitu tidak terjamin bahwa prduk bias diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman, dsb.

2. Teori Perhatian Semestinya

Berbeda dengan pandangan teori kontrak, pandangan ini tidak menyetarafkan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa konsumen salalu dalam posisi lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang produk yang tidak dimiliki oleh konsumen. Di sini kepentingan konsumen dinomorsatukan. Norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.

· Norma ‘tidak merugikan’ bisa didasarkan atas teori deontology, dimana kita harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan pada dirinya dan tidak boleh memperlakukan dia sebagai sarana belaka. Produsen yang tidak memperhatikan konsumennya, akan mengorbankan dia pada tujuannya sendiri.

· Norma ‘tidak merugikan’ bisa didasarkan pula atas teori utilitarisme aturan, karena jika norma ini diterima setiap orang dalam masyarakat akan beruntung.

· Norma ini bisa didasarkan pula atas teori keadilan, sebab dalam original position di mana kita berada dibalik veil of ignorance kita akan memilih norma ini demi kepentingan kita sendiri.

3. Teori Biaya Sosial

Teori ini menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Semua akibat negative dari produk harus dibebankan kepada produsen. Teori ini menjadi dasar ajaran hokum yang disebut strct liability (tanggung jawab ketat). Adapula kritik terhadap pandangan teori ini, antaraa lain:

§ Teori ini dirasa kurang adil karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak diketahui atau tidak bisa dihindarkan. Menurut keadilan kompensatoris, orang harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya yang diketahui dapat terjadi dan dicegah olehnya. Hanya atas syarat ini orang harus mengganti rugi.

§ Bila teori ini dipraktekkan, produsen harus mengambil asuransi terhadap klaim kerugian dan biaya asuransi itu bias menjadi sangat tinggi, sehingga tidak terpikul lagi oleh banyak perusahaan dimana akan membawa kerugian ekonomis.

D. Analisis dan Pembahasan

a. Perilaku Carefour dilihat dari sudut pandang pokok dari bisnis

Dilihat dari sudut pandang ekonomis, yang dilakukan oleh Carefour cukup etis, hal itu disebabkan perusahaan dibuat dengan bertujuan untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan memasarkan produk yang sudah kedaluarsa bisa saja berpeluang untuk meningkatkan laba, karena produk yang seharusnya tidak bernilai masih dimanfaatkan untk dijual. Perusahaan bisa saja berkilah dengan cara mereka menyalahkan konsumen karena kurang jeli dalam memilih produk.

Dilihat dari sudut pandang hukum, perilaku Carefour sangat tidak etis karena jelas-jelas telah melanggar UU No 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen dengan ancaman 5 tahun penjara denda maksimal Rp 2 miliar. Dilihat dari pandangan ini, perusahaan seharusnya tidak berspekulasi dengan hukum untuk meningkatkan laba perusahaan.

Dilihat dari sudUt pandang moral, ada 3 cara pengukuran yakni :

a. Hati nurani, pihak yang melakukan kecurangan ini tentu terusik hati nuraninya ditandai dengan adanya perasaan was-was, takut, gelisah, dan ketidaknyamanan yang timbul jika diketahui oleh orang lain. Hal itu disebabkan hati nurani manusia selalu mengarahkan untuk berbuat kebaikan, dan akan terusik jika melakukan kejahatan. Dengan demikian perilaku Carefour ini dapat disimpulkan tidak etis.

b. Kaidah emas, berbicara tentang kita harus melakukan sesuatu pada orang lain sebagaimana perlakuan yang ingin kita terima dari orang lain. Tentu kita tidak ingin teracuni oleh makanan ataupun produk lain yang kedaluarsa, maka kita juga tidak boleh memberikan produk yang berbahaya pada orang lain, apalagi semata-mata untuk mencari keuntungan yang lebih. Oleh karena itu, tindakan Carefour dianggap tidak etis jika dilihat dari sudut pandang ini.

c. Penilaian umum, berbicara mengenai pandangan dari masyarakat umum mengenai apa yang baik dan tidak baik. Jika dilihat dari sisi ini, yang dilakukan Carefour tentu tidak etis, karena persepsi yang terbangun di masyarakat nantinya adalah sebuah perusahaan yang tidak bagus karena tidak memenuhi kaidah good business. Citra buruk akan melekat pada perusahaan ini yang nantinya berimbas pada pendapatan perusahaan jika tidak disikapi secara tepat. Dilihat dari sisi ini tindakan yang dilakukan Carefour tidak etis.

b. Keuntungan sebagai tujuan perusahaan

Keuntungan merupakan bagian dari bisnis. Perusahaan dituntut untuk selalu menghasilkan keuntungan yang tinggi. Penjualan produk yang kedaluarsa jika dikaitkan dengan cita-cita kapitalisme barat tentu ada korelasinya, semakin banyak profit yang didapat tentu semakin bagus. Meski demikian, pencapaian keuntungan sebagai sastu-satunya tujuan tanpa didasari kaidah moral tentu akan sangat tidak etis. dalam mencapai tujuan, hendaknya juga mempertimbangkan cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.

Jika perusahaan hanya menjadikan konsumen sebagai media untuk mencapai keuntungan yang tinggi, maka sama saja itu merendahkan martabat mereka. Menurut Immanuel Khan, filsuf Jerman abad ke-18 menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukan dia sebagai tujuan. Menurut dia prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan “ Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.

Para ekonom sudah menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harafiah dan pasti tidak boleh ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dijadikan model ekonomis ysng diharapkan yang akan memberi arah pada strategi ekonomis yang bisa berhasil.

c. Pemenuhan Hak Konsumen

Hak atas Keamanan , teori ini menyatakan konsumen berhak atas produk yang aman. Carefour dinilai tidak bisa memenuhi hak konsumen atas keamanan produk karena makanan yang kedaluarsa jika dikonsumsi tentu berakibat fatal (keracunan pada pemakai) meski dari kabar yang disampaikan sejauh ini belum ada korban akibat kelalaian Carefour.

Hak atas Informasi, teori ini menyatakan konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya. Konsumen yang cerdas tentu akan memeriksa barang yang akan dibeli, tetapi seringkali kepercayaan membuat konsumen untuk lalai sifat kehati-hatiannya. Perusahaan bisa saja berkilah telah melakukan pengunformasian yang jelas tentang barang yang dijual, hal itu bisa dilihat dari etiket yang tertempel pada produk. Disisi lain, perusahaan juga harus memberikan antisipasi secara berkala terhadap produk yang dijual agar konsumen bisa terlindungi.

Hak untuk Memilih, konsumen mempunyai hak untuk memilih barang yang disukai. Perusahaaan sudah cukup memenuhi hak ini, karena perusahaan menawarkan produk yang beraneka ragam sehingga konsumen bisa memilih dengan sesuka hati. Namun, jika salah dalam memilih produk kadaluarsa hal itu bisa berakibat fatal. Oleh sebab itu, perusahaan sebaiknya memilah produk yang sudah tidak layak jual untuk disingkirkan dari rak.

Hak untuk Didengarkan, konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa, untuk itu ia berhak bahwa keinginannya tentang produk itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya. Meski belum ada keluhan dari konsumen, hendaknya perusahaan bertindak proaktif dengan menyortir barang yang sudah kedaluarsa tanpa harus menunggu ada konsumen yang complain.

Hak konsumen atas Pendidikan, jika konsumen mengetahui adaanya indikasi pelanggaran hendaknya mereka mengemukakan kritik dan saran pada perusahaan agar segera ditindaklanjuti.

Perhatian dari segi teori lain :

Teori Kontrak

Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Produsen seharusnya melaksanakan kewjibannya untuk menyediakan produk yang berkualitas dan aman bagi konsumen, jika melanggar maka konsumen berhak untuk menuntut. Meski produsen dianggap memiliki kemampuan yang sama dalam menganalisa produk, tentu hal ini tidak bisa dibenarkan seluruhnya. Dari perusahaan seharusnya ada itikad baik untuk mengakomodir keterbatasan konsumen atas informasi produk sehingga konsumen bisa menikmati dengan aman.

Teori Perhatian Semestinya

Berbeda dengan pandangan teori kontrak, pandangan ini tidak menyetarafkan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa konsumen salalu dalam posisi lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang produk yang tidak dimiliki oleh konsumen. Oleh karena itu, produsen hendaknya bertindak dengan semestinya, yakni memberikan pelayanan yang maksimal pada konsumen.

· Norma ‘tidak merugikan’ bisa didasarkan atas teori deontology, dimana kita harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan pada dirinya dan tidak boleh memperlakukan dia sebagai sarana belaka. Produsen yang tidak memperhatikan konsumennya, akan mengorbankan dia pada tujuannya sendiri.

· Norma ‘tidak merugikan’ bisa didasarkan pula atas teori utilitarisme aturan, karena jika norma ini diterima setiap orang dalam masyarakat akan beruntung.

· Norma ini bisa didasarkan pula atas teori keadilan, sebab dalam original position di mana kita berada dibalik veil of ignorance kita akan memilih norma ini demi kepentingan kita sendiri.

Teori Biaya Sosial

Teori ini menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Semua akibat negative dari produk harus dibebankan kepada produsen. Teori ini menjadi dasar ajaran hukum yang disebut strct liability (tanggung jawab ketat). Jika dilihat dari sisi ini mungkin terlalu ekstrim, dikarenakan ketidaksengajaan yang dilakukan perusahaan tidak dapat ditolerir. Meski perusahaan bisa meminimalisir kecacatan tapi tidak serta merta bisa menghillangkan resiko sepenuhnya akan produk yang dikeluarkan.

d. Pihak yang harus bertanggung jawab atas keamanan produk

Yang pertama kali harus bertangguing jawab adalha perusahaan Carefour, karena mereka lalai untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap konsumen dengan menyediakan produk yang tidak aman dan tidak layak pakai. Seharusnya, supervisor ataupun pramuniaga yang ada selalu mengecek kondisi produk di rak untuk mengkategorikan produk mana yang layak jual dan mana yang tidak layak jual. Dengan demikian kecerobohan bisa diminimalisir, dan konsumen bisa nyaman dan aman dalam menggunakan produk.

Selain itu, kita tidak boleh hanya menyalahkan pada perusaahaan saja atas kelalaian yang dilakukan. Masyarakat sebagai kosumen harus jeli untuk mengawasi penjualan produk di swalayan dan supermarket saat akan mengkonsumsi. Pemerintah dengan segenap aparatnya yakni BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) dan Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) secara kontinyu melakukan sidak dan memeberikan sanksi yang tegas pada pelaku yang melanggar. Semua pihak dalam komponen masyarakat hendaknya saling bersinergi agar kejadian ini tidak timbul dan terulang di tempat lain.

E. Penutup

Simpulan

Di pasaran masih ditemukan produk pangan segar dan olahan kemasan yang telah kadaluarsa, tidak hanya di pasar tradisional tapi juga di supermarket. Produk makanan olahan yang ditemukan bervariasi. Kasus-kasus peredaran makanan kadaluarsa sangat marak dibicarakan akhir-akhir ini apalagi setelah menyeret perusahaan ritel besar asal Perancis yakni Carefour.

Saran

1. Petunjuk teknis dalam rangka implementasi PP 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan PP 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan perlu disosialisasikan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Perlu dilakukan pengkajian pada kebijakan/peraturan pangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh instansi yang terkait dengan kebijakan pangan (Dep. Perindustrian, Dep. Perdagangan, Dep. Pertanian dan Badan POM).

2. Pemda melalui dinas-dinasnya sebagaimana ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4437) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen dalam hal keamanan pangan. Rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya termasuk di bidang keamanan pangan yang di-akibatkan masih kurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah.

3. Perlu penyusunan program dan kegiatan berkaitan dengan keamanan pangan oleh dinas yang berwenang di daerah, termasuk program penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dan usaha jasa boga.

4. Pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk pangan, terutama yang diproduksi oleh usaha kecil dan menengah karena sangat rawan dari aspek keamanan pangan akibat mudah rusak dan mudah terkontaminasi mikroba yang berbahaya. Juga perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif secara periodik terhadap peredaran produk pangan yang sudah kadaluarsa dan menyalahi peraturan pelabelan.

5. Khusus bagi produk pangan impor perlu dilakukan pencegahan dini sejak di entry point (pelabuhan) terutama terhadap ketentuan label dan ketentuan lain yang diwajibkan antara lain mencantumkan label berbahasa Indonesia, nama dan alamat importir serta spesifikasi teknis produk dalam kemasan.

6. Para pelaku usaha baik sebagai produsen, pedagang/distributor maupun importir turut bertanggung jawab dalam penerapan ketentuan Pemerintah khususnya mengenai label pangan antara lain kewajiban pencantuman kadaluarsa serta label berbahasa Indonesia.

7. Masih kurangnya penegakan hukum yang bertujuan memberikan efek jera pada kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan berlaku berkaitan dengan pangan oleh pelaku usaha.

8. Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang mendapat kewenangan melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK); yakni turut mengawasi barang beredar di pasar bersama-sama pemerintah perlu ditingkatkan dan disosialisasikan secara terus menerus.
Sementara fungsi peran dan BPSK selaku badan yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen termasuk sengketa akibat kerugian mengkonsumsi pangan perlu diefektifkan.

9. BPKN merupakan lembaga yang dibentuk tahun 2004 oleh pemerintah dan berada langsung di bawah Presiden. Tugas BPKN antara lain mengkaji berbagai kebijakan perlindungan konsumen, menyusun dan memberikan saran serta rekomendasi kepada pemerintah, menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen, serta menerima pengaduan dari masyarakat, LPKSM atau pelaku usaha.

Daftar Pustaka

Bartens, K.2000.Pengantar Etika Bisnis.Yogyakarta:Kanisius

http://lpkjatim.blogspot.com/2009/12/hasil-kajian-bpkn-di-bidang-pangan.html diakses pukul 21.03 WIB pada tanggal 7 April 2010

http://www.kilasberita.com/kb-finance/ekonomi-a-moneter/15985-kasus-makanan-kadaluwarsa-carrefour-segera-di-proses

diakses pukul 19.16 WIB pada tanggal 7 April 2010